Senin, 23 Agustus 2010

Sebuah Catatan yang Terlewat

“Aku sangat mencintaimu, dengan kerinduan yang amat dalam….”

Itulah awal sebuah tulisan di lembar terahir buku catatan matematika milik anak sulungku. Meski kaget, namun aku tersenyum, mencoba memahami bahwa ia yang baru berumur 7th dan kelas 3SD inipun berhak untuk mengenal cinta. Dengan asumsi bahwa coretan-coretan ini adalah caranya berkomunikasi selama menjalani hari-hari menjadi anak pendiam, aku pun melanjutkan membacanya…

“…tetapi, setelah engkau begitu kejam kepada kami, aku tidak mengenalmu lagi. Meskipun kau mencoba mengenalku lagi, berkirim pesan, atau menulis berbaris-baris status dalam Facebookmu…aku akan menganggapmu teman biasa, tidak lebih!”

Aku tidak kaget. Agar tidak gaptech, aku memang sering mengajaknya bermain di warnet. Keherananku semata karena bujang cilikku ini pun telah mengenal patah hati.

“Hai, Tuhan. Jika kau mencoba berkenalan denganku lagi pun… aku akan menganggapmu sebagai teman biasa. Tidak lebih…!” begitu ia mengahiri tulisannya.

Aku bukan hanya kaget. Dadaku bergetar. Lekas aku panggil ia. Demi melihatku membaca coretan di bukunya, bocah kecil itu berhambur memelukku. Menenggelamkan kepalanya di dadaku. Diam. Seolah ia mengerti bahwa tangisnya tidak terwakilkan lagi oleh bergetarnya pita suara. Kuusap rambutnya dengan penuh kasih, meski aku yakin itu tidak cukup.

Perlahan namun pasti, kristal bening di sudut mata ini meleleh. Aku telah keliru menyikapi keadaan kami. Aku telah keliru dengan menganjurkan istri dan dua anakku tabah menjalani apa yang selalu aku katakan sebagai cobaan ini. Ya, meski bagaimanapun kejamnya negeri ini melibas segala kesempatanku bertarung… Meski aku punya seribu keegoisan untuk tidak mengakui bahwa ini sebuah penderitaan… Namun ada sebuah catatan yang aku lewatkan, bahwa kedua anakku adalah juga anak-anak yang berhak merasakan kegembiraan dan bahagia…………
=============Kebumen, bulan kemerdekaan–bulan penuh berkah 2010.